Fahrul Rizal
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Pada persamuhan di tana rantau, saya berjumpa dengan karib lama asal Sulawesi Selatan yang juga merupakan Wija to Luwu.
“Apa kareba sammuane, to sehat-sehat sia rakah tu?” dia menimpaliku dengan kata, Alhamdulillah baik.
“Kapan kamu tiba di sini?” tanya lagi kepada saya.
Saya menjawab sudah seminggu berada di tempat ini. Kami membincang banyak hal tentang kenangan semasa bersekolah dulu. Sesekali diselingi canda tawa dan humor khas Wija to Luwu (Orang Luwu).
Saya mengobrol dengan bahasa daerah yakni bahasa tae’ namun dia selalu menimpalinya dengan Bahasa Indonesia, kemudian berujar “kita ini lagi di ibu kota , mari kita gaul sedikitlah dengan menggunakan Bahasa ibu kota”. Sontak saya sangat kaget, terheran dan bergumam dalam hati. Perjalanan hidup itu membuat kita semakin matang dalam berpikir, bertutur, dan bertindak bukan untuk melupakan dari mana kita berasal dan berawal. Sebagai putra daerah harusnya kita yang menjadi garda terdepan, untuk melestarikan dan menghidupkan ciri khas, bukan justru ikut mengamini akan kematiannya.
Dengan kejadian ini, saya merasa gusar dengan asal usul dari mana kita berasal. Generasi muda cenderung bangga menggunakan bahasa lain ketimbang bahasa ibunya, dengan dalih utamakan Bahasa Indonesia. Padahal hal demikian sangat jauh dari jargon lembaga bahasa yakni kuasai bahasa asing, utamakan Bahasa Indonesia, dan lestarikan Bahasa daerah.
Saya semakin yakin dengan data yang dipaparkan oleh UNESCO (2018) bahwa ada 6.192 bahasa yang digunakan masyarakat dunia dan diperkirakan hanya akan tersisa 600 bahasa di muka bumi. Bahkan dalam laporan tersebut, ada 10 bahasa yang mati setiap tahunnya. Setiap bahasa tinggal menunggu antrian kematiannya. Nomor berapa antrian kematian bahasa kita ? Tergantung sejauh mana penutur menggunakan bahasanya.
***
Dalam kacamata linguistik, ada dua faktor besar yang memengaruhi cepat dan lambatnya kematian sebuah bahasa. Secara garis besar dipetakan ke dalam dua faktor yaitu struktural dan kultural. Pertama, secara struktural yakni jika pemerintah dan institusi mengeluarkan aturan yang membuat bahasa minoritas jarang digunakan. Seperti contoh spanduk, plang, dan banner bertebaran dengan tulisan utamakan bahasa Indonesia tanpa ada ada anjuran pelestarian bahasa daerah. Faktor ini disebut sebagai language murder (pembunuhan bahasa). Harusnya aturan itu dituliskan dalam bahasa ibu di setiap daerah sehingga mengandung dua pesan bermakna sekaligus.
Yang kedua, secara kultural yakni jika penutur bahasa sudah tidak merasa bangga lagi menggunakan bahasanya, bahkan merasa minder menggunakannya. Faktor ini disebut language suicide (bahasa yang bunuh diri). Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI tahun 2019, menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan akan ada kemungkinan segera punahnya 139 bahasa daerah di Indonesia. Punahnya bahasa daerah tersebut dikarenakan tidak adanya penutur yang menggunakan bahasa tersebut. Sungguh miris jika problem ini terus berlanjut.
***
Kepedulian masyarakat internasional dalam upaya mempertahankan bahasa daerah sebenarnya sudah dilakukan. UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa ibu internasional. Namun, hal ini masih dirasa belum optimal di mana, penggunaan bahasa asing di Indonesia masih sangat vulgar digunakan, baik dalam media tulis maupun elektronik. Misalnya saja, salah satu siaran televisi swasta di Indonesia, menayangkan secara khusus, salah satu programnya dalam Bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap penggunaan bahasa daerah. Di mana para penutur bahasa akan berpikir, penggunaan bahasa asing lebih dianggap prestige dibandingkan bahasa daerah. Jika yang berubah adalah masyarakat bahasa yang berskala kecil mungkin itu bisa dimaklumi. Akan tetapi imbas dari kebijakan bahasa yang belum cermat, juga cukup memengaruhi penutur bahasa yang notabene sebagai masyarakat terbesar, dalam pemakaian bahasa daerah dengan berbagai jenis dialeknya.
Pada tahun 2020, berdasarkan data Kemendikbud, Indonesia menempati posisi kedua pemilik bahasa daerah terbanyak, dengan jumlah 718 bahasa daerah, hanya kalah saing dengan Papua Nugini dengan 810 bahasa daerah. Ragam bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa aceh, jawa, bugis, dan tae’diperkirakan berasal dari rumpun Austronesia. Selain di Indonesia, rumpun bahasa ini juga tersebar ke Hawaii, Filipina, Madagaskar, dan negara lain.
Fenomena language shift (pengguguran bahasa), di Indonesia terjadi tidak hanya sekedar by accident (kebetulan), tapi lebih kepada by design. Kita ini bukan bangsa miskin, tapi dimiskinkan dengan cara dijauhkan dari bahasa sehari-hari, seperti kata Roman Jacobson tentang kekerasan linguistik, bahwa saat ini kata yang banyak diproduksi adalah kata-kata kekerasan, yang membuat masyarakat jauh dari keadaban, etika kesopan santunan, dan bahasa keseharian. Tujuannya agar masyarakat lupa dengan identitas diri mereka. Kita ini dimiskinkan dengan tidak mampu membedakan, antara ciri khas dan ketertinggalan. Yang harus kita tinggalkan adalah kebodohan, kemalasan, kekolotan tentang tekhnologi bukan mengamini hilangnya ciri khas. Bukankah salah satu kekayaan bangsa ini dengan memiliki ragam bahasa ? Jika tidak, bahasa ibu akan hanya tinggal kenangan di ujung jalan yang lama-kelamaan habis digilas oleh zaman tanpa jejak, tapak, dan artepak yang nampak.